Senin, 11 Mei 2009

Pernyataan Sikap PGI Menolak RUU Pornografi Jadi Undang-Undang


Reporter Kristiani Pos

Posted: Sep. 19, 2008 22:49:23 WIB

Pandangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) atas RUU Pornografi:

Menolak Pemberlakuan RUU pornografi menjadi Undang-Undang.

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sempat menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat di waktu yang lampau sempat dihentikan pembahasannya oleh DPR. Namun ternyata, setelah mendapat banyak penentangan, RUU ini tetap diajukan untuk disahkan menjadi Undang-Undang setelah mengalami beberapa perubahan, termasuk perubahan judul menjadi RUU Pornografi.

Selain pembahasannya agak luput dari perhatian masyarakat dan karenanya juga kurang menampung aspirasi masyarakat, ternyata tidak terjadi perubahan yang substansial dari RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang lalu. RUUP ini masih sarat dengan beberapa masalah yang jadi titik keberatan masyarakat di waktu yang lalu. Misalnya beberapa pasal dalam RUU ini masih mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi suatu permasalahan serius. Bukan hal yang mustahil kalau hal ini akan kembali memunculkan sentimen disintegrasi bangsa.

Pornografi memang semakin merebak belakangan ini, terutama dipicu oleh kekuatan kapitalisme yang bersinergi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pornografi kini bisa dikonsumsi semua orang tanpa memandang batas usia dan tempat. Dari anak-anak hingga masyarakat yang hidup di pelosok-pelosok desa kini bisa mengakses pornografi melalui internet, VCD porno yang beredar secara gelap Maupun telepon “esek-esek”.

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Namun, menghadapinya dengan pemberlakuan RUU Pornografi ini sangat sarat masalah atas beberapa pertimbangan berikut:

1. Perumusan Pornografi pada pasal 1 RUU ini masih sangat multi tafsir da jauh dari kejelasan. Hal ini tidak memenuhi azas kejelasan rumusan sebagaimana diungkapkan dalam pasal 5 Undang-Undang Penyusunan Hukum. Misalnya, ungkapan “yang dapat membangkitkan hasrat seksual” adalah berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga cara seseorang berjalan pun bisa dikenakan kepada ungkapan ini. Demikian pun halnya dengan istilah “tampilan yang mengesankan ketelanjangan” (Pasal 4 point d). Dalam menafsirkan istilah-istilah yang tidak jelas, akan terbuka kemungkinan setiap orang menginterpretasikannya dengan akibat justru tidak tercapainya kepastian hukum.

2. RUU ini mengesankan seolah-olah akar dari segala persoalan yang menghantar bangsa Indonesia pada kemerosotan moral terletak pada seksualitas da erotisme. Jadi kalau masalah ini diselesaikan, dengan sendirinya persoalan moral juga beres. Tujuan pengaturan pornografi sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 agaknya terlampau menyederhanakan persoalan. masalah moralitas hendaknya diselesaikan dengan pendekatan moral, jangan diselesaikan dengan pendekatan hukum. Membangun moralitas masyarakat dengan hukum positif akan menempatkan negara pada posisi yang sangat menentukan, pun dalam hal-hal yang bersifat privat. Jika demikian halnya, bukankah negara akan menjadi negara totaliter? Pertanyaannnya adalah, sampai seberapa jauhkah wewenang negara mengawasi warga negaranya? Apakah negara juga berwenang menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dibaca oleh warga negara? Tidakkah demikian, kita mendorong negara menjadi sebuah negara totaliter?

Menjadi persoalan adalah, apakah negara juga memiliki wewenang untuk menentukan standard moralitas tersebut; sampai memasuki wilayah personal? dan kalau, ya, batasan atau standard siapakah yang akan digunakan? Kalau negara begitu kuatnya dalam menentukan moralitas personal, dimanakah peran lembaga keluarga, pendidikan dan agama?

3. Adanya pengecualian pada pasal 7 dan 14 akan mengaburkan substansi RUU ini. Hukum dengan pengecualian akan menimbulkan diskriminasi dan sangat rawan terhadap manipulasi dan korupsi.

4. Tidak menghargai keragaman perspektif, terutama kekayaan ekspresi sosial budaya tradisional maupun kontemporer, baik komunal maupun personal yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kepelbagaian budaya yang sangat beragam akan tereliminir oleh pemberlakuan RUU ini menjadi Undang-Undang. Padahal Pasal 28 dan 32 UUD 1945 nyata-nyata memberikan jaminan akan keragaman budaya ini dan merupakan identitas serta hak masyarakat. Penegasian akan kebebasan mengekspresikan keragaman budaya tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Sementara itu, tujuan reformasi kita adalah terwujudnya sebuah civil-society di negeri kita. Salah satu cirinya adalah kedewasaan warga negara di dalam menyikapi berbagai keberagaman.

Oleh karena beberapa pertimbangan di atas, maka kami menolak diberlakukannya RUU Pornografi ini menjadi Undang-Undang.

Kami menyadari adalah suatu kebutuhan akan pengaturan dan penertiban tentang pornografi. Namun, yang dibutuhkan adalah penertiban dan pengaturan distribusi yang lebih bertanggung-jawab atas produk-produk pornografi serta penegakan hukum yang tegas terhadap pemberlakuan Undang-Undang yang telah ada terkait dengan masalah ini seperti UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kiranya keberatan atas keberadaan RUU Pornografi ini hendaknya tidak disalahpahami sebagai menyetujui pornografi.

Jakarta, 15 September 2008

MPH PGI,

Pdt. Dr. Richard Daulay

Sekretaris Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar